SUSUNAN ILMU PENGETAHUAN C. A. van Peursen
( Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu )
I. MASALAH ILMU
Filsafat Ilmu, Apakah Memang Ada?
Dahulu, ilmu merupakan bagian dari filsafat, definisinya bergantung pada sistem filsafat yang dianut dan lama kelamaan ilmu memperoleh posisi yang lebih bebas dan akhirnya mandiri. Dengan melihat apa yang dilaksanakan ilmu dengan metodologinya maka pokok definisi ilmu ialah masalah pembatasan atau demarkasi ilmu. Akibat peran ilmu yang semakin menentukan kehidupan, definisi ilmu semakin sukar. Masalah pertama apakah ilmu sebagai ilmu?atau hanya ahli ilmu yang bertanggung jawab? Kedua, Bagaimana hubungan ilmu dengan etika? Ketiga, istilah ilmu semakin meluas, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kehidupan.Keempat, dengan perkembangan ilmu yang pesat, bagaimana hubungan antara petunjuk metodologis dengan pembaruan?
Sebuah filsafat mencakup struktur dan fungsi ilmu. Filsafat ilmu mencakup dua kecondongan tertentu yaitu tendensi metafisik dan kecondongan metodologik. Pada kecondongan metodologik, kuntungannya ilmu dibatasi secara sistematik sebagai kancah tempat hasil penyelidikan, kerugiannya ilmu terlalu dilindungi terhadap pembaharuan. Metafisik diartikan interaksi dengan data di luar ilmu, suatu interaksi yang diterima oleh semua dengan strukturnya.
Ilmu pad asaat ini merupakan faktor yang menentukan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah yang menonjol adalah hubungan antara ilmu dengan ideologi, pertama ilmu nenas nilai dan obyektif, ahli ilmu dipengaruhi oleh keadaan psikis, politik dan sosial disebutr juga pendapat positivistis. Kedua, ilmu tidak bebas nilai dan tidak boleh menjadi bebas nilai disebut pendapat ideologi. Dipihak lain Ilmu juaga merupakan hasil struktural dari pengamatan dan penalaran manusiawi dan refleksinya berubah sesuai dengan struktur-struktur dasar suatu kebudayaan.
Hubungan antara ilmu dan etika, ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin menjalin dan konsisten dari ungkapan yang benar tidaknya dapat ditentukan. Etika dapat berperan dalam tingkah laku ilmuwan, etika mulai pada saat ilmu berhenti. Ilmu tetap berkembang dan selalu mempunyai arah
Apakah semua ilmu mempunyai metoda sama? Dalam perkembangan lebih lanjut ilmu orang berusaha menyederhanakan dan mengembalikan struktur suatu ilmu. Terdapat pertentangan antara sains dan ilmu-ilmu budaya yang timbul pada mahzab-mahzab Jerman. M Weber dan filsuf anglosaks berkeinginan membagi dua kelompok ilmu, yaitu ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan ssial.perbedaannya terletak pada metode yang menerangkan dan metode yang memahami, IPA bebas nilai dan IPS taut nilai.
Ilmu yang Berkembang
Ilmu tidak abadi melainkan berubah, arti yang lebih trivial yaitu tidak ada ilmu yang selesai. Pertama penyelidikan mengenai sejarah ilmu-ilmu membawa kepada pengertian bagi ilmu yang sama, istilah akan berbeda pada waktu berlainan, kedua karena timbulnya ilmu yang baru / kulturologi.
Ilmu merupakan suatu sistem kait-mengkait mengenai pernyataan-pernyataan yang tetap sahih lepas dari mekanisme nyata yang memungkinkan upaya berfikir para ilmuwan. Ilmu harus dinilai berdasarkan tuntutannya akan kesahihan dan tidak berdasarkan keadaan nyata yang bersifat psikologis atau sosiologis. Ada dua pandangan yang bertolak belakang antara tuntutan kesahihan salah satu sistem ilmiah dengan keadaan nyata historis dan kebudayaan. Bidang masalah tersebut saling erat kaitanya dengan : 1. Ilmu an ideologi, 2. Ilmu dan etika, 3. Ada tidaknya kemajemukan metode. Peranan apa yang dipegang oleh kreativitas dan inventivitas dalam membentuk ilmu?, bagaimana kesahihan ilmu terwujudkan?Penemuan-penemuan euristik tidak hanay bersifat psikologis tetapi mencakup aturan-aturan yang memunginkan timbulnya kesahihan sistem ilmiah.Heuristik an penyahihan aturan bukanlah dua bidang yang terpisahkan.
Kemajuan ilmiah terdiri atas kerangka teori, ilmu tidak berkembang secara berkesinambungan dalam lingkup netral, melainkan tersendat-sendat.
Kelompok pemir lain mngemukanan perkembangan revolusioner., yang ditampilkan seringkali pemikiran pokok bahwa penyahihan yang oleh metoda ilmu harus diberikan kepada hasil-hasilnya tidak sama untuk segala waktu.
Pekembangan mutakhir memiliki pendahulu-pendahulu sepanjang sejarah. Sebagai ilustrasi berikut kutipan dari 3 ahli pikir yang berbeda penapatnya :
1. R. Decrates : “ Kesenangan paling besar waktu saya megadalan penyelidikan bukan mendengarkan alasan-alasan yang diberikan oleh orang lain, melainkan menemukan alasan tresebut oleh daya upaya saya sendiri.”
2. J. Locke : “ Asas-asas umum mengenai pengetahuan dan dalil-dalil umum termasuk bahasa dan urusan-urusan mazhab-mazhab dan akademi-akademi...cocok untuk bahasa buatan dan berguna untuk meyakinkan orang, tetapi tidak membawa orang pada penemuan kebenaran atau membantu kemajuan pengetahuan “
3. I. Kant : “ Dengan demikian ide setulnya hanya pengertian heuristik, bukan pengertian untuk membuktikan sesuatu ; ide tidak memperlihatkan bagaimana hakekat benda, melainkan bagaimana kita dibina oleh ide semacam itudalam mencari hakekat dan perjalinan benda-benda pada umumnya.”
Catatan diatas menimblkan dugaan bahwa pada pemikir-pemikir ada proses dinamis yang meliputi “penemuan” dan “mencari” tidak dapat dapat disisihkan untuk mencapai ilmu yang sahih.
Limas Ilmu-ilmu
Gambaran tradisional tentang susunan ilmu ialah berbentuk limas, berlandaskan pengamatan dan bahasa sehari-hari. Dasar limas lebar dan meliputi data nyata, sedangkan puncak terdiri atas teori ilmiah, sedangkan tingkatan teoritisasi yang makin majui berada antara dasar dan puncak limas. Ilmu nbukan abstraksi lagi, tetapi kesatuan metode yang melingkupi segala-galanya beserta tempatnya. Kebanyakan limas ilmu terpancung, karen apucuk teoritis yang lengkap belum ada.
Pemerian ilmu dengan gambar limas dapat dilengkapi oleh pemerian yang sejajar ; ilmu dicirikan oleh metodenya.
Bidang-bidang batas suatu ilmu yang memberikan ciri-ciri metodis yang khas kepada ilmu itu merupakan bidang singgung. Untuk mengetahui ciri khas bahasa ilmu perlu dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Dalam banyak hal, bahasa ilmu lebih mampu daripada bahsa harian. Setiap ilmu ada bahasa sendiri. Berdasarkan rujukan-rujukan dalam limas ilmu, dapat dikatakan bahwa ilmu mempunyai kemandirian sendiri akan tetapi bersifat relatif.
II. MEMBATASI ILMU
Metode Ilmiah
Metode bararti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencan tertentu. Metode memiliki kedudukan khas dalam ilmu, baik dalam sains, sosial, ketrampilan dll. Dimana penerapannya lebih merupakan akibat penggunaan metode yang tepat dalam ilmu sendiri.
Metode ilmiah menata data yang belum teratur. Selain itu ilmu adalah penyepadanan prosedur yang dapat memimbing penelitian menurut arah tertentu. Suatu metode disusun menurut bahasa, atau sistem lambang denga mempergunakan istilah-istilah yang sudah diketahui dan memperoleh arti khas. Metode ilmu timbul degan membatasi secara tegas bahsa yang dipakai oleh ilmu tertentu.
Bahasa sehari-hari dan bahasa ilmiah
Perbedaan antara bahsa sehari-hari dengan bahsa ilmiah adalah :
No Bahasa sehari-hari Bahasa ilmiah
1
2
3
Sifat bahasa : evaluatif
Tidak merupakan sistem tertutup
Kaidah bahasa mengizinkan memakai bahasa ini untuk membicarakan bahasa itu.
Sedapat mungkin bebas nilai
Membentuk sistem yang setertutup mungkin
Menjernihkan bahasa dan menjadikan obyek penelitian, dengan membatasi pengertian emosional dan subyektif.
Adanya epibahasa dan metabahasa untuk mengajarkan suatu ilmu, menimbulkan masalah bahwa metabahasa itu membutuhkan metabahsa lagi dan seterusnya, itu tanda bawa perama tidak pernah dapat menghasilkan sistem tertutup mutlak, kedua tidak dapat dihindari sistem bahsa ditujukan untuk bahasa itu sendiri, ketiga bahsa ilmiah tidak dapat memencilkan diri kedalam strukturnya lepas dari bahasa harian. .
Pengamatan Biasa dan Observasi Ilmiah
Observasi berbeda dengan pengamatan.dalam observasi maka obyektivitas diri dikesampingkan.sedangkan pengamatan harian amat bersifat emosional yang dapat menyebabkan deformasi. Pada observasi diusahakan pemerian data nirpribadi ( non personal ) atau sekurang-kurangnya intersubyektif. Yang berarti langkah pertama menuju obyektivasi. Syarat kedua observasi adalah melupakan yang sudah diketahui, seakan-akan suatu gejala diamati dengan mata/pandangan baru tanpa prasangka. Ketiga, Observasi kerapkali terpaksa membatasi dan memusatkan perhatian pada gejala, nuanasa diperbolehkan sejauh dapat dipertanggungjawabkan, misalnya measureable. Pengamatan bernuansa banyak dan sarat dengan ketidakpastian. Observasi bukan keadaan normal artinya observasi menuntut adanya latihan, sepanjang pendidikan ilmiah latiahn berlangsung terus menerus. Observasi memeperuncing perhatian dan mengubahnya, gejalatertentu dibatasi pada sifat yang relevan secara ilmiah, observasi pada lain bidang akaln lain caranya. Menuru A. Kaplan No observation is purely empirical..., notheory...is purely ideational.
Observasi berkaitan dengan fakta sebuah ilmu, dapat bermuara pada penemuan fakta. Istilah ”fakta” telah menimbulkan banyak kesalah pahaman, kadang dianghgap pengalaman sehari-hari hanya menghasilkan fakta tidak dapat dipercayai dan dwiarti sifatnya. Setiap ilmu menentukan fakta yang khas.fakta murni tidak didapatkan dalm ilmu maupun diluar ilmu. Hasil pembatasan metodis apa yang dapat ditentukan sebagai fakta ilmiah ” benar” atau ”tidak benar” secara pasti, sebagai titik akhirnya.
Pemerian dan Penggolongan
Observasi, seperti pengamatan, menuju pemerian. Setiap pemerian mengandung pengertian-pengertian. Dalam sistem bahasa, pengertian disebut ”istilah”. Metode pengelompokan (klasifikasi) ilmu terjadi berkat pembatasan dan metode, makin teliti mengalami bermacam-macam perbaikan, beralih dari intuifit ke yang konseptual. Contoh pertama, pada logika lama, isi pengertian dibedakan dengan luas pengertian. , kedua hal itu berbanding terbalik, namun dalam klasifikasi modern menggunakan teori himpunan. Kedua, merupakan keistimewaan yang membedakan / distinctive features. Klasifikasi dalam kehidupan sehari-hari biasanya dilaksnakan berdasarkan sifat-sifat aeng menyolok. Klasifikasi ilmiah lebih menggunakan pembagian yang kurang terperinci, yang memungkinkan pembatasan dan keputusan yang lebih jelas. Perbedaan mendasar adalah ”ya/tidak” .Ketiga, dilihat semakin meningkatnya kuanmtifikasi.
Observasi dan klasifikasi bertautan erat. Keduanya dihasilkan dari metode ilmiah. Data disusun , kenudian disempadani menurut prosedur tertentu. Observasi dan klasifikasi ilmiah menangani gejala secaralebih sadar sehingga lebih dialihragamnkan. Metode ilmiah memperbesar kekuasaan atas gejala, membatasi sifat gejala.
III. SUSUNAN ILMU
Definisi – definisi
Ilmu bagaikan bangunan yang tersusun oleh batu bata. Usnur-unsur dasarnya tidak dapaty dipenuhi secara langsung, melewati observasi, penggolongan kelompok, baru dapat dipergunakan dilakukan dengan petunjuk dari limas ilmu secara menyeluruh. Ilmu-ilmu formal berbeda dengan ilmu empiris. Sehingga muncul ”definisi” akan istilah-istilah tertentu yang memberikan petunjuk bagaimana ”pengertian dasar ini dapat dipergunakan.
Istilah definis dipakai. Definisi dapat dianggap sebagai alat yang mengerjakan unsur-unsur basis sampai cocok dipakai dalam bangunan suatu ilmu. Terutama berlaku pada ilmu formal. Dalam perkembangan ilmu, definisi merupakan alat yang mutlak perlu.
Definisi membatasai sebuah istilah atau pengertian. Terjadi lewat pemerian istilah yang belum diketahui dengan memekai istilah-istilah yang sudah diketahui. Istilah yang perlu didefinisikan disebut definiendum, yang mendefinisikan definiens. Dalam kegiatan ilmu yang sesungguhnya definisi berfungsi secara kurang formal (logis) dan lebih materiil (mengenai isi). Secara metodologis, definisi memajukan bahas ilmiah. Dalam lingkup ilmudefinisi mengubah data observasi menjadi data yang dapat dirumuskan secara lebih teoritis. Definisi dapat berubah bersama perkembangan ilmu.
Definisi nirsejati
Definisi dapat dikelompokkan dengan berbagai cara. Perlu dibedakan antara definisi sejati dengan definisi nirsejati. Definisi nirsejati meliputi definisi ostensif(tunjuk), berperan pada penalaran filsafat tentang definisi dan persuasif, untuk wawasan kegiatan ilmu yang praktis. Arti istilah tidak diberikan oleh istilah lain melainkan lewat acuan kepada haal itu sendiri. Kemungkian istilah lain adalah definisi ”kosong”
Definisi persuasif, biasanya bersifat deskriptif.
Definisi dalam arti sesungguhnya
Definisi ilmu menyajikan susunan ( hirarki) definisi. Susunan ini menanjak dari definisi yang sanagt terikat dengan data pengalaman samapai definisi yang tertama ditentukan oleh cara mengolah data. Lapisan dasar definisi ilmiah merupakan definisi deskriptif.Definisi deskriptif dalam arti sempit disebut definisi leksikal., biasanya menyatakan apa yang dimaksud dengan sebuah kata, besar kecilnya ditebntukan oleh kamus. Definisi deskriptif juga dapat disebut sebagai definisi nyata, jika memerikan hakekat , kenyataan sebenarnya. Lawan definisi nyata /deskriptif adlah definisi nominal, memberikan nama ..kembali pada definisi leksikal.
Lapisan kedua definisi terdiri atas definisi stipulatif. Definisi ini sering dibandingkan dengan efinisi nominal dan definisi verbal.berlaku benar atau tidak benar . Definisi stipulatif mengandung pakatan yang diberikan kepada suatu istilah. Lapisan ketiga adalah definisi operasional. Biasanya mengenai istilah-istilah yang dekat pada puncak suatu ilmu, berlaku tepat atau tidak tepat.. Definisi ini mensyartakan juga harus sesuai dengan susunan menyeluruh suatu ilmu. Definisi operasional memerikan arti sebuah istilah dengan menyebut kegiatan mengukur yang dapat menghasilkan penentuan arti semacam itu. Amat penting apabila ilmu tertentu menggunakan pengertian yang diambil dari bahasa sehari-hari.
Definisi lapuisan tertinggi adalah definisi Teoritis.Defrinisi teoritis membatasi isi pengertian atau arti, mencakup istilah yang dihasilkan oleh definisi sebelumnya.. Definisi dihasilkan lewat bahasan dan lambang yang lazim dipakai dalam cabang ilmu yang bersangkutan. Ada dua catatan yang dikemukakan : 1. Ilmu formal mempunyai kedudukan khusus. 2. Ilmu empiris terdapat rujukan, baik langsung maupun tidak langsung kepada gejala.
Pengertian-pengertian dalam ilmu
Struktur limas akan lebih jelas jika diadakan lebih banyak ruas, dapat dibedakan sekurang-kurangnya 5 asas : 1. istilah observasi, 2. istilah empiris, 3. istilah terbuat /konstruk, 4. istilah peubah timbrung dan 5. istilah teoritis.
1. observasi : merupakan yang berhubungan dengan pengamatan langsung.
2. empiris : istilah yang menghimpun sekelompok observasi.
3. terbuat : menunjuk sesuatu yang tidak dapat langsung diamati, namun
tetap terjadi lantaran observasi.
4. timbrung : sedikit lebih jauh dari pengamatan, karena tidak berhubungan
langsung dengan peubah-peubah.
5. teoritis : tidak apat lagi didefinisikan dengan istilah observasi, baik
langsung maupun tidak langsung.
Istilah teoritis tidak boleh dikenakan pada hanya atu tafsiranyang mungkin mengenai istilah-istilah observasi, tetapi justru memberi kelonggaran kepada banyak kemungkinan penafsiran, baik yang sduah ada, atapun yang akan timbul.
IV. TEORI ILMIAH
Hukum dan Teori
Ilmu harus terbuka kearah dua jurusan, kearah gejala empiris dan kearah kemungkinan yang belum diketahui, dan menerapkan suatu teori ilmiah kepada gejala baru. Suatu teori memahkotai suatu sistem ilmiah dan terdiri atas huum-hukum. Hukum dirumuskan mutlak. Disamping hukum teoritis, terdapat hukum observasi. Hukum observasi, yang pertama mengungkapkan rampatan(generalisasi) berdasarkan obsesrvasi, sehingga sifatnya empiris. Sedang hukum teoritis menyatakan hubungan mutlak atar gejala. Sifat hukum teoritismengakibatkan akan diusahakn perumusan yang lebih umum lagi. Dalam susunan ilmu akan dimulai dari puncak kebawah. Hal ini untuk menjabarkan bahwa umumnya observasi dari hukum teorits (deduksi). hukum bservasi harus dapat dijabarkan dari hukum teoritis
Menerangkan dan meramalkan dianggap sebagi ciri utama sebuah teori ilmiah. Menyangkut masalah yang lebih luas, ada dua hal yang jarus dikemukakan, pertama, bahwa penjabaran masing-masing pernyataan dari suatu teori / hukum umum yang memberikan kesempatan untuk pelakuan pengujian’Kedua, Untuk hukum dan teori dirancang terlebih dahulu, disebut proto-teori.
Dalam ilmu rancangan pengandaian yang ternalar disebut hipotesis. Dari hipotesis dijabarkan ungkapan yang dapat diuji satu demi satu. Hipotesis mutlak untuk membentuk teori, model ini disebut hipotesis-deduktif.
Pertanyaan-pertanyaan Mengenai Pengujian
Kesahihan suatu teori ilmiah mengalami perubahan dari induksi ke deduksi. Induksi adalah penjabaran kaidah umum berdasarkan hal-hal yang khusus, deduksi adalah penjabaran hal-hal khusus dari kaidah umum. Yang pertama menonjol adalah induksi, terdapat sifat pertanggungjwaban dan pengujian.
Ilmu dimulai dengan penamatan fakta dan observasi.observasi dirampatkan lewat antara lain penelaahan statistik;induksi.sehingga hipotesis disusun menjadi sumber penjabaran pernyataan baru : deduksi. Pernyataan ini diui lagi terhadap fakta : verifikasi dan falsifikasi.hiptesis yang telah disusun dinilai, yang mungkin ternyata terkuatkan.Kemudian mungkin disusun pernyataan baru berdasar teori itu yang mengakibatkan berlagsungnya penyelidikan baru. Dengan demikian akan tertutup lingkaran dari observasi ke observasi. Secara urutan kronologis, model ini tidak benar, telah dijelaskan bahwa observasi timbl karena transformasi pengalaman biasa, sehinga tidak terlepas dari suatu teori dan fakta utnuk sebagian bersifat konstruksi dalam rangka suatu tujuan ilmiah.Observasi sduah dibina oleh suatu rancangan teoritis dan teori itu secara terus menerus dikendalikan oelh observasi. Dipihak lain deduks tidak logis hanya berlangsung berdasarkan kesahihan formal.Dalam filsafat ilmu dibedakan secara tegas antara proses yang menghasilkan penyusunan suatu hipotesisi heuristik dan proses yang harus mempertanggungjawabkan suatu hipotesis ( ini kemudian yang diangap sebagai ilmu).
Kesukaran timbul pertama-tama dari pengujian. Apabila sebuah ilmu yang sudah matang memiliki suatu struktur logis, bagaimana mungkin diadakan kontak dengan kenyataan luar – logis? Strukutr logis suatu hukum teoritis justru membawa serta sifat umum. Dari induksi yang selalu terbatas pada sejumlah hal yang berhingga, tidak mungkin dijabarkan pernyataan umum. Sebaliknya pernyatan umum tidak dapat diverifikasikan oleh proses verifikasi yang selalu berhingga. KK Popper menolak induksi, mengganti dengan tuntutan falsifikasi. Tuntutan faslifikasi disatukan dengan filsafatnya tentang rasionalisme kritis, antara lain berakibat bahwa setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikia rupa sehingga sebanyak mungkin terbuka untuk perbaikan-perbaikan. Perbaikan itu memperlihatkan bahwa kombinasi empirisme dengan teori yang disusun secara logis terlau simplistic. Pertama, Pengujian, baik verifikasi atau falsifikasi mengandung masalah yang tidak hanya bersifat empiris. Penerapan verifikasi dan falsifikasi dalam bentuk mutlak jarang timbul, biasanya adalah kemungkinan/bisa jadi. Kedua pada kegiatan ilmiah kerap terjadi bahwa suatu teori dipertahankan. Ketiga, suatu teori mengatur seuruh system ilmu. Kesimpulan yang dapat ditulis adalah : berdiri atau jatuhnya ilmu bergantug pada kesahihan.
Menerangkan dan Meramalkan
Menerangkan dan mermalkan dianggap sebagai kegiata pokok dari sebuah ilmu. Suatu teori bersifat logis, merupakan model hipostesis-deduktif. Atau model Deduktif-nmolgis (DN). Penjabaran suatu hukum akan jelas jika ditinjau dari struktur keterangan ilmiah.
Gejala yang akan diterangkan ( ekspanandum) dan keterangan(eksplanan) Bagian terkhir yang terletak paling depan dan terdiri atas dua bagian, pertama antecendens yang menyatakan keadaan paling khas yang meliputi suatu gejala, kedua, hukum, satu atau lebih berupa pernyataan umum atau lawlike statement. Berdasarka gejala yang ada diterangkan sebagai berikut:
Skema
A1.........................................An
W1 .......................................Wn Eksplanan
E Eksplanandum.
Penjelasan bentuk ini menjadi penjabaran logis yang dapat dipakai, dapat berbentuk ganda. Penjabaran kuat adalah bentuk DN. Pada sistem deduktif yang sejati ada dua kemungkinan.Kebenaran premis, dapat dialihkan kepada kesimpulan. Dalam logika klasik disebut modus ponens. Apabila E dijabarkan sebelum gejala E berlangsung, keterangan akan berfungsi sebagai ramalan. Sejumlah pengarang beranggapan bahwa menerangkan selalu berimpitan dengan meramalkan. Muncul istilah retrodiksi, ramalan yang ditujukan kepada yang telah silam, berdasarkan data dapat dinyatakan bagaimana keadaan waktu silam.
Perjalinan antara yang teoritis dan yang empiris muncul dalam berbagai penjelasan yang harus dibedakan seketika dikemukakan apa yang sebetulnya mau diterangkan dengan hasil :
1. Keterangan logis
2. Keterangan sebab akibat ( kausal)
3. Keterangan final
4. Keterangan fungsional
5. Keterangan historis
6. Keterangan analog
Pada kegiatansehari-hari suatu ilmu, cara menerangkan ini dipakai salaing melengkapi (komplementer).
Menerangkan dan Memahami
Sejumlah ahli filsafat beranggapan bahwa ilmu tidak hanya menerangkan tetapi juga berusaha memahami(verstehen). Yang dilawankan dengan menerangkan(erklaeren) yang dimaksud meberikan bahasa kausal dan verstehen yang bermaksud mengartikan data.
Istilah verstehen ada dua arti :
1. Untuk memahami perasaan dan keadan batin sesama manusia.
2. Untuk menangkap arti suatu teks.
Memahami sekaligus menafsirkan disebut hermeneutik.
Pengarang modern menilai vverstehen sebagai bagian metode ilmah sejati. Memahami alam dengan memahami masyarakat terdapat perbedaan. Mengenai alamdapat disusun hukum-hukum, terdapat penyimpangan yang dapat diolah secara teoritis. Penyimpanga merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah, sehingga pada keadaan tertentu perlu memasukan istilah “ menaati kaidah”. Winch menggunakan metode yang lebih analitis, A.Schutz memakai metode yang lebih fenomenologis.
Schultz membandingkan bentuk memahami dengan pengalaman akal sehat ( common sense ) terhadap dunia biasa. Kedua pemikir itu memperlihatkan bagaimana memahami, asal tidak terlalu irrasional dan subyektif, merupakan kelanjutan dari menerangkan. Batas antara memahami dan menerangkan tidak jelas.
V. ILMU DALAM KONTEKS
Ilmu Sebagai Sistem Tertutup
Ilmu memiliki ciri khas sebagai sistem terbuka, ilmu tidak dipandang secara terpencil melainkan ilmu dalam konteks. Yang dianut banyak orang bahwa ilmu meiliki sistem tertutup, melihat hubungan dengan konteks sebagai hubangan yang menjauhi dan membatasi.. Pendapat lain tidak ada batas antara ilmu dan konteks. Pendapat yang ketiga adalah : ilmu adalah sistem terbuka. Artinya dari satu pihak ilmu memiliki truktur dan kedudukan sendiri, dipihak lain tidak lepas dari tautan-tautan yang lebih luas, lingkup ilmu terwujud.
Ilmu memperlihatkan bentuk limas dan dicirikan oleh kecondongan membentuk sistem tertutup. Ilmu berfungsi dalam sustu konteks, ad pengaruh dari masukan dan keluaran. A.Comte menulis ” setiap ilmu terdiri atas koordinasi fakta” , terdapat juga fakta umum / fakta sosial.. Makin maju ilmu-ilmu, fakta makin bergayut pada metode. Secara metodis terjadinya suatu ilmu dapat berlangsung juga tanpa diiringi timbulnya masalah-masalah berkat peranan percobaan . Percobaan itu berfungsi sebagai gerbang;observasi sebagai alat untuk melihat rancangan teoretismana yang paling berfaedah. F.Bacdon menyebut, percobaan pengalamn yang dicari. Pengalaman lewat percobaan diterangi oleh metode. Aliran empiris maupun rasionalis menyampaikan ilmu tak lain dan tak bukan yakni menghapus kebetulan/kontingensi. Ilmu memperoleh kontur tetap dan pasti.
Budi manusia memiliki pengertian bawan tertentu ( innate) salah satunya kausalitas.
W.Hamilton mengembalikan msalah kasualitas seluruhnya pada logika penalar. Didasarkan padea identitas logis. Pendapat modern, kasualitas sebagai sesuatu tidak yang pertama-tama termasuk kenyataan diluar ilmu. Kasualitas diganti dengan model deduktif nomologis (DN) dan digenapi dengan model induktif-statistik.Ilmu mecari pembulatan, tetapi tidak ada sistem ilmu yang otonom. Ilmu tebuka lebar, karena dihasilkan oleh konteks, faktor psikis, sosial atau ideologis.
Psikologisme
J.stuart Mill mencirikan hukum logis sebagai generralization for a mental act” bahwa hukum logis sebenarnya merupakan hukumpenalaran yang ditentukan secara psikis. Pendapat Mill disenut sebagai ”psikologisme”. Psikologisme mendasarkan kepastian logis pada kontingensi berfungsinya psikis budi manusia. Psikologisme meluas pada bidang lain. Pada analisis sitem ilmiah diusahakan juga mempergunakan fakta pribadi dan biografis sebagai keterangan terjadinya sebuah teori. Tautan penemuan tidak mampu manyampaikan analisis apapun demi berlakunya kesahihan teori ilmiah. Seandainya berpretendi demikian, maka teori yang berasangkutan berdasarkan reaksi psikologis orang-orang tertentu, diterangkan secara psikologis dan dengan demikian tidak memiliki kesahiohan umum apapun.
Sosiologisme
Ilmu merupakan gejala sosial, maka dapat dianalisis sebagai gejala sosial. Disebut sebagai sosiologi ilmu. Kesahihan teori digayutkan pada fakta sosial (sosiologisme). Artinya ilmu dipersempit menjadi fakta sosial. Para pemikir al : K.Mark, E.Durkhein, K.Mannhein melihat adanya hubungan erat antara ilmu dan masyarakat. Dihasilkan pengertian akan hubungan penalaran ilmiah dengan suatu kebudayaan atau bangunan sosial tertentu. M. H Herskovits menyodorkan relativisme nilai yang berlaku juga untuk struktur penalaran ilmiah : kategori-kategori ”ruang”, ”waktu”, dan ”kausalitas” adalah ”mediated by the convenmtions of any given group”. Pendapat ini mengandung bahaya, bahwa kesahihan suatu ilmu digayutkan begitu saja pada masyrakat tempat ilmu berfungsi. Ilmu bukan lagi otonom. Ilmu tidak hanya diperikan dengan bertolak dari kekuatan sosial, melainkan juga dikaitkan dengan penilaian sosial politik. Maka terjadi pendapat ideologis. Keberatan terhaap sosiologisme tidak perlu mengarah ke pendapat mengenai ilmu tertutup. Keluaran jelas kelihatan, yaitu pengaruh ilmu pada masyarakat. Rumusan Comte sungguh-sungguh ada ilmu demi ilmu.
Ilmu Terapan
Harus diakui bahwa ilm terapan berperan lebih penting dari yang diduga. Berdasar bu-buku menegnai filsafat ilmu dan metodologi, buku-buku baku berhaluan logis-positivistis, hampir tidak mengindahkan ilmu terapan yang sebenarnya merupakan bagian trbesar ilmu-ilmu. Ilmu terapan berarti lebih luas dari hanya penerapan ilmu pad bidang teknik dalam arti luas. Ilmu teknik telah menjadikan penerapan ilmu obyek penelitian teoritis. Sehingga terdapat berbagai disiplin ilmu : ilmu kedokteran, ilmu hukum dll. Ciri khas ilmu terapan adalag faktor kebetulan yang disingkirkan oleh ilmu murni atau faktor pengganggun justru menjadi obyek penelitian ilmu terapan, yang disebut ilmu praktis. Pada ilmu terapan, ilmu memasuki masyarakat lebih mendalam. Kemudian ilmu berusaha juga menangkap banyak unsur kebetulan dari konteks masuk jaringan keterangan ilmiah. S. Toulmin membandingkan ilmu murni dan ilmu terapan dengan peta dan jalan yang ditempuh.
Bagaimanapun ilmu tak mungkin melepaskan kedudukan sendiri maupun penyepadanan sistematis , lalu tenggelam kedalam pandangan relativitas, psikologistis dll. Adanya sifat tenggang yang terdapat dalam setiap teori, baik murni maupun praktis, ilmu-ilmu dapat berfungsi sebagai radar, juga demi masyrakat.
Ilmu dan Ideologi
Melayani masyarakat dapat menghasilkan pendirian ideologis. Ialah mengabdikan ilmu kepada pilihan yang ditentukan oleh padangan dunia (wawasan) dan atau sosial politik. Dalam hali ini yang dinmaksud engan ideologi dalam arti luas adalah setiap perangkat ide yang bersifat mengarahkan. Istilah ideologi tidak harus berarti negatif
Ada macam-macdam ideologi atau ide yang menonjol : agamawi, metafisis, susila, sosial, politis.
Ketegangan pertama terjadi antara agama dan ilmu. Konflik dapat tibul bila terjadi penisbian/relativasi segi teoretis dalam pandangan haidup religius karena tekanan dari pihak ilmu modern. Siaft kebenaran religius tidak hanya kognitif teta[pi juga kontekstual. Kadang terjadi bahwa dengan berawal pada agama disusun sebuah asas dan dasar teoretis melulu, yang harus merupakan titik tolak suatu sistem filsafat. Tuntutan seperti itu oleh kaum religius sering disebut ” fundamelisme”. Menawan ilmu secara ideologis terjadi juga oleh marxisme ortodoks. Pendirian ideologis ini mengakibatkan banyak konflik dengan ilmu. Neo-marxis mendukung pengaruh ideologis pada ilmu. Pokok kedua yang berhubunagn dengan yang pertama,ialah penilaian yang dalam susunan masyarakat amat berperan., harus juga berpengaruh pada ilmu. Sains digiring oleh kepentingan teknologi, ilmu sejarah oleh kepentingan praktis dan sosial oleh kepentingan emansipatoris. Sebagai kesimpulandapat dinyatakan sebagai berikut : betul bahwa ilmu merupakan sistem dalam suatu konteks. Tidak betul bahwa ilmu dilarutkan dalam konteks itu. Betul bahwa fungsi ilmu berubah sesuai lingkungan budaya dan kontstelasi sosial. Ilmu merupakan imbangan yang berharga menghadapi ideologi. Kecondongan yang ingin menerangkan dan menguasai segala-galanya berdasar ilmu disebut ”saintisme”. Kecondongan ini sama dogmatismnya seperti suatu ideologi yang ingin menguasai ilmu.
Ilmu sebagai Sistem Terbuka
Berhadapan dengan perapatan ilmu mnjadi sistem tertutup dari satu pihak dan tenggelamnya ilmu jkedalam kontks psikis, sosial dan ideologi dari pihak lain, terdapat pandangan menegnai ilmu sebagai sistem terbuka. Istilah sistem terbuka sering dipakai, mula-mula untuk gejala tertentu, kemudian untuk seluruh bangunan ilmu antara lain oleh L.von Bertalanfly dan K.Boulding. Pada mulanya istilah ini diterapakan pada organisme hidup. Mulai dari membentuk terumbu karang samapi memetakan bumi secara ilmiah oleh manusia. Bagi manusia istilah ”sistem terbuka” mendapat arti yang lebih luas. Boleh dikatakan bahwa seluruh kebudayaan manusiawi, termasuk pertanian, urbanisasi, dll merupakan bagian dari sistem terbuka manusiawi. Dalam arti ini, ilmu merupakan bagian kebudayaan manusiawi bahkan bagian kebijakan manusiawi seluruhnya. Ilmu-ilmu sebagai bentuk limas merupakan keseluruhan yang amat dinamisdan yang menangapai dunia sekelilingnya juga. Dengan demikian ilmu dapat dicirikan sebagai sistem terbuka: Kemadirian (otonomi), tetapi yg amat luwes melalui penyesuaian terus-menerus dari konteks lewat pembaharuan yang kreatif. Ilmu sebagai suatu sistem hanya mungkin karena pembatasan-pembatasan berkat suatu metode. Kekuatan ilmu terletak pada pembatasan diri. Sebagaiman telah diulas, peranan teori tidak pernah membulatkan sistem ilmiah secara definitif, selalu hanya sementara. Teori merupakan keseimbangan antara”konsepsi” dan ”empiris”. Ini sesuai dengan sifat terbuka yang selalu merupakan merupakan keseimbangan dinamis antara pengaruh dari dunia luar dan pengaruh sistem kepada dunia luar. Kant sudahj menganggap pengetahuan ilmiah bagaikan sebuah sistem yang tunduk pada streuktur (kategori) ilmiah yang ketat. Sistem ini merupakan suatu ”kesatuan arsitektonis” Kesatuan sebuah sistem berdasarkan praanggapan suatu ”ide” yang membentuk kesatuan tersebut. Ide ini disebut dengan ide regulatif yang sifatnya diatas empiris, metafisis dan yang memungkinkan hubungan antara pengetahuan teoritis dan nperilaku susila. Teori Godel sebenarnya berlaku untuk semua ilmu. Ilmu tidak pernah merupakan sistem tertutup bulat dan justru sifat tidak tertutup ini mengacu kepada keharusan selalu membicarakan sistem itu dan memperluasnya. Otonomi ilmu merupakan otonomi relasional.
VI. FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu ialah suatu perpanjanga ilmu tentang pengetahuan. Penerapan teori pengetahuan pada pengetahuan ilmiah. Teori pengetahuan menlaah struktur dan kesahihan pengetahuan insani. Pengetahuan ini mencakup antara lain : mengamati, mengingat, menyangka dan bernalar. Penerapan pendapat baik klasik atau modern sudah termasuk dalam filsafat ilmu. Hubungan antara pengetahuan yang ingin menyatakan tetntang kenyataan denmgan kenyaan sendiri akan menjadi lebih jelas dalam bab ini.
Rasionalisme
Rasionalisme dalam arti sempit berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal dan/atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ilmu mustahil hanaya berdfasarkan fakta, data empiris atau pengamatan. Denga memilih dari jumlah informasi yang kalibut, ilmu harus menyusun suatu sistem. Untuk itu diperlukan pilihan/seleksi.Pendekatan empiristis biasanya akan memberikan penjelasan historis mengenai keadaan ekonomis stsu sistem bahasa. Strukturalisme menhadapkan kepada pendekatan ”diakronis” suatu pendekatan”sinkronis”, artinya yang meneliti keseimbangan dalam sistem bahsa yang ada atau keseimbangan pasar. B. F. Skinner sebagai seorang behaviouris dia berusaha menerangkan proses memahirkan suatu bahasa dengan bertolak pada rangsangan.
Empirisme dan Positivisme
Kesukaran yang melekat pada rasionalisme, dalam arti sempit ialah bahwa harus diterima adanya ide, kategori, atau struktur bawaan, kendati hanya bersifat benih. Melawan rasionalisme, empirisme menunjukkan bahwa dengan demikian kurang dihargai pentingnya masukan dari data kenyataan yang menumbuhkan pengetahuan.
Empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu mengubah dan mencocokkan sistem ilmu. Locke mengatakan bahwa pengetahuan terdiri atas gambaran mengenai data empiris. Sedangkan Mill berpendapat bahwa induksi sangat penting, juga positivisme Comte dan E. Mach bertitik tolak pada ”unsur” atau ”fakta” murni.
Kesulitan menghadapi empirisme lebih-lebih disebabkan oleh kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum. Positivisme logis memecahkan masalah ini dengan menganggap ilmu formal bukan sebagai pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu diluar bahasa(kenyataan). Positivisme logis sifatnya tetap empristis. Sehingga timbnul sisten totologis. Empirisme dan Positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada msukan dari empiris., timbul kesukaran bahwa hukum dan teori ilmiah tidak pernah dapat dikembaliakn seluruhnya kepada data pengalaman. Maka untuk filsafat ilmu disajikan sejumlah penyelesaian perantara. Poincare, pada sains hukum memang ada hubungan denga pengalaman, namun tetap diatur oleh asas-asa yang bersifat pakatan. Mahzab P. Lorensen, dalam satu pihak orang tergoloong dalam empirisme, tetapi dipihak lain tetap menerima universalitas dalam ilmu.
Rasionalisme Kritis
Rasionalisme kritis menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Suatau ilmu merupakan suatu keseluruhan, suatu sistem, tidak sebagai ramuan suku-suku, mel;ainkan berdasarkan struktur yang teratur. Struktur”kososng” bila tidak diisi dengan bahan pengalaman berakibat ganda: pertama, jangan mengadakan penelitian historis-faktual ( psikologis) untuk mencari kesahihanpenghetahuan, melainkan adakan analisis logis struktural. Kedua, dengan mengemukakan tuntutan akan kesahihan pengetahuan ilmiah, karena hubungan yang tak terelakkan dengan pengalaman indrawi, batas-batas pengetahuan itu harus sekaligus ditampilkan. Ini oleh Kant disebut ”filsafat kritis”. Popper menggunakan ”rasionaliosme kritis” menyambung Knat. Sifat kritis berarti bahwa kita terbuka pad pengalaman. Sifat rasional dibentuk lewat sikap yang selalu terbuka bagi kritik.Oleh karena itu setiap perumusan menegenai suatu hipotesis ilmiah harus sedemikian rupa sehingga jelas bahwa terdapat kemungkinan penangkalan atau falsifikasi. Ilmu harus selalu mengubah dan memperbaiki diri. Titik tolak suatu ilmu terletak pada melihat situasi permasalahan, lewat proses mencoba-coba berkembang sistem ilmiah terbuka. Empirisme dan positivisme menyebut sebagai induksi.
Yang terjadui dalam pembaharuan ilmu sebetulnya merupakan peralihan teori satu ketori yang lain. Berlanmgsungnya ”program penelitian” bila mengahasuilkan teori yang lebih baik disebut program penelitian ”progresif”, kalau tidak dinamakan ”degeneratif” Rasionalisme kritis memang tepat mengatakan bahwa rasionalitas ilmu tidak pernah secara berat sebelah dapat dicari pada kekauatan nalar ilmiah sendiri, melainkan justru pada keterbukaan terhadap kenyataan empiris.
Konstruktivisme
Kelompok ahli filsafat yang menekankan sifat kontekstual sepaham hal yang dipentingkan adalah pembaruan dan perubahan sistem terus menerus. Ilmu merupakan sistem yang dinamis dan luwes. Selain pengaruh konteks sendiri, digaris bawahi pengaruh ilmu pada konteks. Ilmu membentuk rengrengan dan memaksakanya pada kenyataan, lewat salaing interaksi yang erat dengan konteks. Disimpulkan oleh banyak pemikir ilmu harus dilihat menurut arti lebih luas, karena perkembangan ilmu sendiri turut membangunnya. Maka heuristik memilki arti metodologis.
Konstruktivisme dapat dibedakan dalam beberapa kelompok. Kelompok pertama dekat dengan positivisme logis, karena mementingkan aparat logis ilmu. Kelompok kedua diberi nama ”filsafat ilmu baru” Sistem ilmu dan kenyataan empiris saling resap-mersapi. Titik tolaknya teori Gestalt. Dua hal menonjol, Pertama, arti keseluruhan harus dilihat, kedua, Gestalt serupa itu swering dapat berarti ganda.
Setiap analisis ilmiah bertolak dari organisasi bahan yang emnahuluinya, bertitik tolak pada gambaran menyeluruh yang menentukan terbentuknya sistem ilmu. Kuhn, gestalt semacam itu disebut ” paradigma”. Perubahan paradigma menjadi yang lain disebut ”gestaltswitch. Pembalikan terjadi apabila semakin lama paradigma tidak memuaskan lagi, timbulah macam-macam pertentangan ilmiah atau”anomali”. Batas anatara context of discovery dan cotext of justification tidak dapat dipertahankan lagi. Oleh akrenanya pembenaran suatu teori lewat deduksi dan tuntutan falsivikasi justru bergantung pada struktur menyeluruh yang baru. Heuristik mulai memegang peranan penting bagi metode suatu ilmu, khususnya bagi pembaharuannya.
Feyebend mendesak mebnuka pintu bagi bermacam-macam model alternative demi pembatruan suatu ilmu. Colingwood mengemukakan bahwa dibelakang jawaban-jawabn yang diberikan oleh fiklsafat dan ilmu terdapat pertanyaan-pertanyaan tertentu. Toulmin melangkah lebih jauh dengan menyimpulkan bahwa kita tidak akan berhenti pad pernyataan bahwa misalnya suatu rencana penelitian ilmu harus diubah karena rengrenga-rengrengan mendasar tertentu sudah aus. Menurutnya rasionalitas ilmiah jangan dipandang secara teroisah, tetapi dalam konteks collective human activities. Kelompok ketiga yang menganut konstruktivis diberi nama aliran “genesis” mereka berpendapat bahwa terjadinya system, genesis system, merupakan bagian dari sifat khas sistem semacam itu. Proses terjadinya(genesis) dan hasil tidak dapat dipisahkan.Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari C. S Peirce dan J. Dewey. Yaitu ajaran tentang abduksi sebagai yang mendahului semua prosedur pertanggungjawaban menyusun hipotesis, serta deduksi dan induksi. Abduksi ialah menerapkan pada gejala sebuah rengrengan yang secara logis belum tertutp, lewat deduksi dan induksi diusahakan agar bentuk itu secara logis lalu menjadi tertutup. Segi kedua Pierce merupakan antisipasi pada etika. Dewey memunculkan “instrumentalisme”. Ilmu bersatu dengan jalan yang ditempuh agar dapat terwujud, ialah penelitian(inquiriy). E. Hurssel membuicarakan tentang dipentingkannya dalam ilmu ialah melihat kedepan secara manusiawi, menyongsong keadaan baru. Konstruktivis semacam itu terdapat juga akhirnya oad genesis J Piaget. Piaget melihat adanya perkembangan dinamis pada ilmu. Adanaya abstraksi fisis pada anak-anak. Lewat adaptasi dan asimilasi, ilmu dapat maju sebagai lanjutan seluruh kegiatan. Ilmu formal sebagai jaringan abstrak meripakan endapan dari kemungkinan pengandaran manusia. Tekanan pada perubahan konseptual yang dialami oleh ilmu, dan dengan demikian oleh rasionalisme ilmiah. Riwayat terjadinya genesis pratahap-aktual histories, merupakan bagian struktur dan berlakunya sisem. Konteks system mempengaruhi berlakunya system secara intern. Heuristik menjadi relevan.
VII. STRATEGI ILMU
Heuristik dan Etika
Terjadi pergesaran minat pada metodologi ilmu, pertama pada masalah sekitar kreativitas dalam ilmu. Dikarenaka pada saat ini demikia banyak ilmuwan, cara dan alat penelitian yang lebih baik, secara relatif tidak banyak hasil penelitian dibanding tahun tahun terdahulu. Maka dalam dunia pengajaran dilontarkan pertanyaan mengenai inventitas. Dapatkah inventitas dan kreativitas diperoleh lewat belajar? Daptkah heurisitik baru menjadi penyelamat bagi kita?
Kedua, ilmu bersama anak kandungnya, teknik, makin berperan dalam mewujudkan masyrakat dan kebudayaan. Ilmu dan teknik sangat dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya. Apaka ilmu yang otonom dan universal sebenarnya tidak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi, pola kebudayaan dan praanggapan metafisis yang berada diluar pengalaman langsung. Kedua faktor itu ternyata akan berperan pada hubunga yang perlu dimiliki secar intrinsik oleh suatu sistem ilmiah, baik dengan heuristik maupun etika. Etika sangat berperan pad diskusi mengenai ilmu. Dalam ebijakan dunia pendidikan, dunia usaha dan negara, ilmu dimanfaatkan secara sadar. Karena putusan politis munculah arus uang yang mendorong bagian ilmu tertentu, bermula dari ilmu terapan yang selanjutnya pada ilmu murni juga.Dengan demikian ilmu lewat penerapan politik memuncak pada masalah etis, kendati etika sebagai etika tidak termasuk kawasan ilmu tiu sendiri yang relatif otonom.
Heuristik adalah teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah. Heuristik mendahului ilmu, biasanya diangap sebagai sebidang medan yang tidak dapat disempadani secara tajam. Medan ini eliputi sejumlah faktor nirilmiah, yang dapat menjadi penting demi munculnya ilmu. Terdapat anggapan metafisis mengenai hakekat “materi”, kadang pandangan itu merangsang, kadang menghambat terjadinya sains. Atau filsafat metafisis tertentu mengenai “waktu”.
Dalam semua hal heuristik mendahului ilmu dan sempat menyediakan iktisar alasan yang ikut bertanggungjawab atas terjadinya ilmu. Diluar ilmu, pada medan heuristik terdapat sifat rasionalitas yang masih terletak pada skill. Dalam tahap lanjutnya akan menjadi semacam superilmu. I Kant menyebut sebagai hiperfisis.
Rasionalitas pengetauan menemukan penyelesaian praktis, orang menyesuaikan diri dengan aturan dunia dan berusaha mengalihragamkan. Denga demikian menjadi alasan bagi timbulnya putusan etis.
Heuristik Ilmu Etika
Diluar ilmu terdapat pertimbangan dan perilaku rasional. Membedakan, menghubungkan, dan merumuskan patokan merupakan kegiatan sehari-hari. Dalam dunia itu biasanya etika terdiri atas susunan kaidah-kaidah dan banyak putusan evaluatif dalam kawasan dunia teratur tertampung dalam kaidah etis itu.Latar belakang masalah rasionalitas, mengarahkan, kesahihan harus dilihat tewujudnya obyektivitas ilmiah.
Sistem suatu ilmu netap melanjutkan susunan dan anggapan pengalaman prailmiah. Baik secara historis, kesahihahn faktual dan juga logis. Ilmu merupakanlanjutan khas dari bakat manusia untuk mencari kiblat, dan bakat yang telah tersedia sebelumnya.Timbulnya sistem rasional daqri bakat-bakat tersebut, genesis, termasuk kesahihan , wewenang ilmu..
Strategi
Sistem ilmiah bersifat dinamis. Dalam hal ini ilmu merupakan bagian, mungkin alat dalam strategi manusia yang menyeluruh. Srategi ini adalah keseluruhan kaidah untuk mencapai suatu tujuan. Strategis suatu sistem ilmiah telah diketahui, suatu ilmu tidak pernah selesai dan tidak pernah tertutup. Strategi lmu adalah bagian strategi lebih luas dalamseluruh kebudayan manusia.
Menjelaskan kenyataan secara ilmiah berlangsung dalam ruang lingkup yang lebih luas daripada strategi sebuah ilmu, ilmu seakan-akan menjajagi dunia seputrnya dengan tidak kaku, struktur akan dapat berubah, maka mulailah menyempit hubungan antara rengrengan pembenaran dalam arti sejati dengan heuristik. Seluruh strategi ilmu merupakan kerangka acuan, ruang rengrengan pembenaran atau keterangan baru berlaku.Terhadap latar belakang strategi total suatu ilmu semua pasti tidak mengandung relativisme. Ciri-ciri sbb: pertama, suatu ilmu selalu mengandung suatu pilihan dan pembatasan tertentu, juga terhadap patokan kesahihan. Kedua, sistem semacam itu mengingat zaman dan kebudayaan, dapat memperoleh wujud lain. Ketiga, dengan demikian bentuk yang satu tidak terasingkan dari bentuk lain. Suatu sistem ilmiah tertentu, menurut bangunanya yang metodologis merupakan endapan strategi ilmu. Endapan diperlukan dalam sistem demi kesahihan antarsubyektif.sistem ilmu mutlak perlu demi pemberitahuan, namun dapat diwujudkan dengan bentuk berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang sama. Sifat khas ilmu menuntut sebanyak mungkin ketrbuktian umum lewat metode menyatakan dan metode menjabarkan. Banyak fisafat ilmu justru ingin menjabarkan berlakunya teori secara sosiologistis dan konvesinalistis dengan bertitik tolak pada universe of discource. Untuk mengenal strategi ilmu, kaidah yang mendalangi tiap-tiaplangkah, perlu mngerti bagaiman strategi itu terjadi, jadi mengerti heuristik. Heuristik ialah pengertian akan wilayah lebih luas daripada hanya sistem metodis ketat, pengertian akan jalan yang menuju kesahihan sistem. Heuristik hanya sarat arti dalam arti luas perilaku rasional yang megandung dorongan ke sifat umum (universal). Apabila heuristik dengan relevansi metodologisnya tidak diakui maka tidak ada kemungkinan untuk mengerti strategi luwes suatu ilmu.
Relevansi Metodologis
Pembaharuan metodologi dan logika suatu ilmu justru merupakan akibat pengaruh kreatif dari heuristik. Heuristik relevan secara metodologis, karena dapat ikut mengatur terjadinya suatu ilmu maupun pembaharuanya secara kreatif. Ikut mengatur arinya bahwa heuristik mencakup petunjuk dan kaidah.
Kaidah pertama ialah setiap strategi ilmu yang masih giat pada pratahap heuristis, meraba kemungkinan untuk memperbaikai strategi yang sedang timbul, menyusun dengan aik sistem pembenaran yang rapat bagi suatu ilmu. Dengan mengikuti garis pemikiran A. Kaplan, lebih lanjut, heuristik dapat dirumuskan sbagai context of discovery yang berusaha menyusun context of justification sebagai koreksi diri. Seuruh sistem pembenaran didalam jalinan penemuan sebagai mekanisme umpan balik.
Heuristik Ilmu Etika
Kaidah kedua ialah mengapai kembali dari sstem ilmiah kepada praanggapan-praanggapan. Yang dimaksudkan adalah praanggapan yang bersatu dengan sistem, kadang-kadang seluruh kerangka berfikir nistoris atau budaya, sehingga tidak dilihat. Kaiah ketiga, adalah akibat dari yang baru dikatakan. Heuristik dapat, karena bentuk yang logis kurang tertutup dengan pasti, menemukan alternatif-alternatif. Kaidah keempat ialah bahwa proses terjadinya dan pmbaharuan suatu ilmu dimajukan oleh pengertian akan masalah etis. Ini dapat mendorong kreativitas degan menentang ketidakseimbangan dalam ilmu. Kaidahheuristis untuk memajukan keseimbangan sistem ilmiah terdiri ats pembalikan metodologis yang biasa dipergunakan.
Kepekaan terhadap Masalah
Kaidah kelima perlu dibicarakan secara khusus karena merupakan titik temu keempat kaidah yang lain. Ungkapan terkenanuntuk merumuskan kaidah ini : kepekaan terhadap masalah-masalah ( sensitivity of problems). Ungkapan ini sering digunakan untuk memperlihatkan bagaimana manusia mampu memandang keadaan-keadaan secara baru pada waktu dipermasalahkan.
Heuristik tidak menjanjikan suatu metodologi untuk menyelesaikan masalah, relevan demi kepekan akan masalah yang perlu dimiliki ula oleh suatu ilmu, yang berakar pada persoalan yang lebih mendalam di dunia luar-ilmiah. Ini berarti bahwa etika harus mempengaruhi seluruh proses heuristis, belum sebagai sistem etis, melainkan lebih sebagai keinsafan etis.
Heuristik Ilmu Etika
Etika mempengaruhi pembangunan ilmu lewat kaidah heuristis berperan dalam strategi ilmu. Hal ini berarti bahwa dalam ilmu timbul metode(kaidah) dan fakta(kebenaran) baru (inventititas).
Heuristik tugasnya semacam fungsi jembatan. Karena menunjukkan hubungan mutlak antara ilmu denga pengertian dan sikap luar-ilmu. Heuristik menunjukkan jalan menuju terjadinya, genesis, sistem ilmiah yang metodis dibatasi. Heuristik menimbulkankepekaan akan konteks tetapi tidak menyediakan suatu metodologi. Heuristik sendiri dirangkul oleh etika sebagai keinsafan akan ketersusunan yang jangkaunya lebih besar, dan yang normatif ( evaluatif).
Lingkup Etika, heuristik dan ilmu:
Sabtu, 20 Februari 2010
SUSUNAN ILMU PENGETAHUAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar